Thursday, 5 December 2013

Chapter 2

Chapter 2

Saat ini adalah hari perayaan panen penduduk Negri Tanah... perayaan yang setiap dua belas bulan purnama diadakan sebagai ucapan terima kasih kepada roh alam Retye... di mana setiap orang akan lebih menyukai berada di luar Bung nya untuk berkumpul dan menyalakan api dari kayu bakar... nyanyian terdengar di setiap sudut negri... sebuah nyanyian yang diciptakan oleh nenek moyang mereka... daging-daging buruan terpanggang di atas bara api... diiringi nyanyian dan tarian...

oooh cahaya datang dari arah timur... 
oooh cahaya datang dari arah timur...
pohon merunduk karena malu... langit bersinar dan batu telah mencair...
iblis enggan untuk menampakkan wajahnya yang kelam...
teman iblis begitu enggan dengan wajahnya yang kelam...
setiap jiwa makhluk hidup akan bersama Retye...
ooo Retye sang roh keabadian... janganlah menangis...
simpanlah raga dan roh ini sebagai nafasmu...
Retye... oooh Retye... ohhh Retye... ohhh Retye...



Semua penduduk memainkan irama indah yang dibuat dengan memukul-mukul kayu dan kulit rusa... anak-anak kecil berlarian kesana-kemari karena begitu senang...

“untuk apa penduduk desa melakukan semua ini?”
“untuk menghormati roh alam”

Kewa dan Asture berjalan melewati beberapa kerumunan orang di tengah desa... setiap orang melihat Asture seperti orang asing... sampailah mereka di tengah-tengah desa... di mana banyak cawan-cawan batu yang bergeletakan di sana-sini... berisi bebagai makanan dan hasil buruan... dan di sekelilingnya tergeletak berbagai pakaian dari kulit rusa... di antara cawan-cawan tersebut terlihat sebuah patung batu... terlihat seperti seseorang yang sedang berlutut dan menengadahkan wajahnya ke langit... Asture langsung memandang dan seperti ada sebuah panggilan yang mencekik hatinya untuk menatap mata patung itu... wajah patung itu begitu menunjukkan rasa kesakitan yang mengerikan... seperti seseorang yang terambil jantung nya oleh iblis secara paksa... ya seperti itu... seperti itulah keadaannya...

“apakah itu Lisshoan?”
“benar...”

“kenapa banyak cawan di sini?”
“itu karena para penduduk negri menginginkan Aror kembali dan menjadi pahlawan negri ini... banyak pendatang dari suku lain datang hanya untuk memberikan beberapa cawan sebagai penghormatan untuknya...”

“apakah selama ini Lisshoan ini tetap di sini?”
“tak seorang pun dari penduduk negri dapat memindahkan Lisshoan... bahkan puluhan pemuda terbaik desa bersama-sama untuk mengangkat Lisshoan... tapi mereka hanya melakukan hal yang sia-sia... ini memang tidak masuk akal... tapi itulah kenyataannya...”.

Asture mengelilingi Lisshoan... di dalam hatinya seperti ada suara bahwa aku mengenalnya... bahwa aku pernah mengarungi dunia bersama nya... teringat perkataan Kewa... bahwa Lisshoan adalah kekasihnya... seorang pahlawan terhebat di negri tersebut... berjuta pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya... entah apa yang harus dilakukannya... dia kebingungan... apa yang harus dilakukan....

“Asture..”
“ya..?”
“kau sudah menemukan sesuatu dari Lisshoan?”
“entahlah... sepertinya Lisshoan tidak pernah mati... Lisshoan terasa begitu hidup... Dia hidup... aku merasakan penderitaannya...”

“baiklah... aku akan meninggalkanmu di sini... negri ini sangat mengharapkan kedatanganmu... ingat satu hal asture... hanya aku yang mengetahui perihal siapa dirimu... penduduk negri hanya mengetahui bahwa Lisshoan akan kembali hidup... mereka tidak tahu siapa yang akan menyelamatkan Lisshoan
“... kenapa hanya kau yang tahu?...”
“ya... hanya satu garis keturunan saja yang mengetahui hal ini... tapi itu juga seseorang yang terpercaya... hal ini dilakukan agar rahasia ini tidak terdengar oleh Lissh... iblis itu dapat meminjam wajah penduduk desa... dan bisa saja Lissh sedang berada di kerumunan orang-orang yang berkumpul di sana...”

“baiklah aku mengerti Kewa..”
“aku pergi... jika ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk membantumu... datang saja ke Bung ku... aku berharap banyak padamu.”

Lelaki tua itu berjalan menjauhi Asture... dan menghilang di kerumunan para penduduk yang sedang berpesta...

Terlihat kobaran api yang diciptakan oleh para pemuda desa... nyanyian itu masih begitu merdu... terlihat semua orang begitu bahagia dengan perayaan ini... suara musik begitu khas terdengar di telinga Asture ketika dia meneteskan air mata... entah apa yang membuat dia meneteskan air mata... Dia pun tidak tahu apa yang membuatnya menangis... hanya hatinya yang memaksa dia mengeluarkan air mata...

Menangislah Asture...
Hanya engkau yang bisa mengeluarkan air mata ku
Hanya engkau yang tahu perasaanku
Ikutilah kata hatimu
Jangan pernah tertipu oleh Lissh
Aku teringat saat kita terakhir ke sebuah goa untuk mencari ayahmu
Kita berperang melawan pasukan setan dan Lissh

Sesaat Asture terhentak dengan apa yang sudah dia dengar... kata-kata itu... suara itu... Dia mengingatnya... Suara yang selalu ada saat sebuah pedang besar terhunus untuk kebenaran... suara yang pernah menggetarkan seluruh dunia... suara yang sangat ditakuti oleh para setan... suara yang membuat batu mencair... dan membuat gemetar setiap makhluk kejahatan... aku ingat... aku ingat...

Asture bergegas berjalan kembali melewati kerumunan orang... dan kembali ke tempat Kewa berada...
“Kewa...!!!”
“bagaimana Asture..?”
“aku ingat... Lisshoan memberitahuku... kapan terakhir kami berada... dan dia berkata tentang ayahku... aku harus ke Goa itu... di mana goa itu... aku harus ke sana!”. Asture begitu bersemangat.

“Ayahmu? Goa?...” Kewa berdiri dari tempat duduknya.
“ya... Ayahku Kitamarion... ada di dalam goa itu... antarkan aku.. aku harus menyelamatkan ayahku dan juga Aror”
“ayahmu sudah mati Asture... selama puluhan ribu bulan purnama... tak seorang manusia pun yang mampu berusia hingga puluhan ribu bulan purnama!”
“tidak!!! Aku harus memastikannya!”
Kewa merasa bahwa Asture benar-benar diselimuti rasa yang benar-benar meledak... rasa ingin menyelamatkan orang-orang yang dia cintai.

“goa... di negri ini banyak sekali goa... goa seperti apa yang Lisshoan maksudkan?”
Lisshoan tidak memberitahuku goa yang bagaimana... tapi aku ingat saat itu... begitu banyak setan yang menghadang kami..”
Kewa berpikir sejenak, mencerna apa yang dikatakan oleh Asture. Dan tentang ayahnya, menurut legenda ayah Asture adalah seorang pahlawan, guru perang Aror. Kitamarion melatih Aror semenjak Aror masih kecil, sampai akhirnya mereka menjadi pahlawan yang selalu menyelamatkan negri... dan juga sampai Asture jatuh cinta dengan Aror.
“goa setan... ya... kami pernah mendengar tentang legenda goa setan... tapi cerita legenda ini tidak dipastikan apakah nyata atau hanya mitos...”
“ceritakan kepadaku Kewa! Dan dimana tempatnya!”

“menurut cerita... goa itu dikelilingi oleh pasukan setan dan iblis... tak seorangpun yang masuk dan kembali keluar dalam keadaan hidup... mereka akan mati atau menghilang atau dipenjara jiwanya... sampai saat ketika Aror menjadi Lisshoan, tak satupun dari penduduk negri yang berani ke sana... dan memang setelah kejadian itu goa itu tak pernah terlihat lagi...”
“tak terlihat lagi? Apa maksudmu?”
“ya... aku pun tak percaya akan keberadaan goa setan itu... karena aku tak pernah melihatnya bahkan ayah buyutku pun tak pernah menceritakan di mana tempatnya... karena menurut legenda goa itu menghilang...”
“apakah ada bekas jejak di mana goa itu berada?”
“menurut cerita goa itu ada di sebelah timur negri tanah... karena di sanalah suara erangan dan suara teriakan yang paling jelas terdengar... dan itupun aku tidak menjamin di sanalah tempatnya”
“Kewa.. bisakah kau antarkan aku ke sana? Tolonglah”

Sesepuh desa itu berjalan keluar dari Bung... dengan menggenggam sebuah benda seperti batu berwarna merah di tangannya dia menatap langit... ketika matahari akan terbenam di sebelah barat negri... mungkin inilah saatnya negri ini dibebaskan dari semua kutukan Lissh...

“aku bisa mengantarkanmu ke sana.. tapi sebentar lagi malam... aku takut sesuatu terjadi padamu”
“tidak!!!! Aku harus ke sana sekarang!!”
“Asture!!!” Kewa membentak Astur. “negri ini sudah kehilangan seorang pahlawan besar... aku tidak ingin ada seorang yang diharapkan bisa memperbaiki semua ini akan mati juga... goa itu sangat jauh dari desa ini... kita harus melewati beberapa suku untuk dapat mencapai tempat itu... kau lihat langit... hampir gelap... kita akan berangkat pagi hari ketika kau sudah beristirahat terlebih dahulu... dan kita memang sebaiknya tidak membuat penduduk desa bertanya-tanya tentang kepergian kita ke sana... kau bisa menginap di Bung Liiya anakku...”

Asture tertunduk dengan kantung matanya yang menghitam... mungkin sebaiknya dia harus istirahat.. mengingat badannya yang sudah letih dan luka lebam yang masih begitu sakit dirasakannya...

Lama setelah itu... Bulan telah muncul... mengusir matahari yang meredup...
Asture bermalam di tempat Liiya anak sang sesepuh... tempatnya di samping kiri Bung Kewa... tempatnya cukup luas... tapi tidak ada patung-patung tanah... hanya ada peralatan kuali berisikan simpanan makanan... Liiya adalah anak perempuan Kewa satu-satunya... karena istri Kewa telah meninggal sesaat setelah kelahiran Liiya... Liiya terlahir di malam bulan purnama... sehingga Liiya tidak mati karena kutukan itu... perempuan yang sangat cantik... tapi terlihat sangat pemalu... Liiya mencoba berbicara dengan Asture.. tapi Asture terlihat seperti sedang dilanda kegelisahan.. jadi Liiya mengurungkan niatnya...

Bermalam di Bung Liiya

Suara erangan mulai terdengar... teriakan malam di sebuah negri yang baru di dengarnya...
Dia tidak bisa menggambarkan bagaimana keadaan makhluk atau orang yang berteriak seperti itu...

Ini begitu sakit terasa... seperti seseorang yang kehilangan darahnya... seperti roh yang keluar dari raga nya... seperti urat nadi yang tersobek oleh cakar serigala... seperti pohon yang kehilangan akarnya... Dia menahan sesak yang di dengarnya... aku harus tidur aku harus tidur... matanya mulai dipejamkan secara paksa olehnya... di atas sebuah papan kayu yang dilapisi lembaran kulit rusa... dengan samar samar cahaya bulan masuk ke dalam celah atap... semakin malam... suara-suara itu semakin menyakitkan dirasanya... tapi inilah yang setiap malam hari selama ribuan tahun di dengar oleh penduduk negri Tanah... aku akan membiasakannya...

Asture... Asture... Asture...
Bolehkah aku meminjam pedang mu?
Pedang yang sangat tajam...
Pedang yang dapat merobohkan pohon Nupa dengan sekali tebas
Lisshoan... Lisshoan... Lisshoan...
Malam ini aku di sini... pinjamkan aku pedang besar dan baju zirah mu...
agar aku bisa menjadi kuat berperang... meskipun tanpa dirimu..
Aku akan menang... dengan beberapa berlian yang kita harapkan di masa mendatang
Saat matahari bersinar dan lelahpun terusir
Aku akan bersamamu...

No comments:

Post a Comment